Berikut adalah sebuah diksi sumbangan dari teman. Diksi ini membahas tentang filsafat biologi. Aslinya, diksi ini diterbitkan dalam jurnal komunitas Verstehn Bandung, edisi ke-7 yang baru terbit bulan lalu.
Larut telah malam dibalik jendela hitam di sudut atas sel sesak ini. Retak-retak dinding merayap seolah akan melilit tiap insan yang terguling dan meringkuk sendu di sel penjara. Aku baru saja ditendang ke dalam sel ini dan bergabung dengan para terkurung. Dan seperti mereka, akupun meringkuk dengan menempelkan tulang belakangku di dinding. Bedanya, pandanganku tak kosong seperti mereka. Mataku bertanya, kenapa aku bisa ada di sini.
Sembilan ratus ribu tahun lalu, orang seusiaku berlarian di padang rumput sambil memikul tombak bermata batu. Di atas kepala bukan dinding datar yang kejam, tetapi langit cerah dengan hamburan birunya. Orang seusiaku saat itu berkejaran bersama tak peduli onak dan sengat. Tujuan kami satu, seekor kijang malang yang tersesat di rerimbunan lalang. Tak peduli ia masih muda, satu persatu tombak menusuk tubuhnya dan orang seusiaku pulang bersama-sama. Seandainya aku di sana, aku tentu bergembira di depan kekasihku. Menatap matanya sambil mengangkat tanduk rusa. Aku yang pertama menikamnya, aku sang pejantan.
Tapi sekarang eksplosivitas itu berubah. Terima kasih atas warisan genetik dari mereka di masa lalu, aku sekarang dihukum karena berbuat seperti itu. Memang yang kutikam bukan kijang, yang kutikam adalah manusia yang kubenci, tapi sekarang tak ada kijang lagi. Lagi pula, kekasihku tidak menyukainya. Kekasihku sangat ingin ia tidak ada di dunia. Aku memuaskan nafsu kekasihku. Tapi bukan pujian yang kuperoleh, yang kudapat adalah rantai panas di kaki.
Ini semua karena gen. Dari dasar samudera saat leluhur ku masih berupa mikroba di celah hidrotermal. Gen-gen sialan mengalir ke keturunannya dalam evolusi ratusan juta tahun. Kekerasanku datang dari gen MAOA-H (High Activity Monoamina Oksidase A) yang bergejolak dalam selku. Sifat baikku datang dari gen COMT. Kebaikanku berbagi minuman haram dengan teman datang dari gen DRD4 (Dopamine Receptor D4). Kecanduanku pada alkohol datang dari gen OPRM1 (mu-Opioid Receptor), dan kesenanganku menyakiti diri sendiri datang dari gen HPRT1. Aku hanyalah seonggok gen terprogram untuk bertahan hidup di dunia ini. Aku tak punya kehendak bebas. Lalu kenapa harus aku yang disalahkan atas penikaman itu? Bukankah seharusnya gen ku, atau bapak ibu ku, atau leluhurku, atau bahkan sejarah biologis planet ini?
Aku menghela napas. Suaranya sepertinya terdengar sehingga seorang lusuh berkacamata menoleh padaku. Ia ada tak jauh di depanku. Berbaring dan sekarang bangun.
“Lagi mikirin apa boy?”
“Lagi mikirin tanggung jawab” jawabku ketus.
“Oh, nyari siapa yang salah toh. Jadi siapa yang salah?”
“Gen. Sialan, andai saja aku tak punya gen MAOA-H.”
“Beuh, Nyalahin Gen. Denger boy, tidak selalu gen yang salah.”
“Terus apa?”
“Ya Gak sesederhana itu. Hanya 41% kenakalan remaja itu datang dari gen. Sisanya dari lingkungan. Gen dan lingkungan itu saling berinteraksi. Saya saja nih, dipenjara gara-gara terlalu pintar. Gen ku yang menyebabkanku pintar, tapi karena lingkunganku adalah lingkungan para penjahat, akupun jadi penjahat yang cerdas. Intinya mah pengaruh lingkungan.”
“Tetap aja kalau kamu gak pintar kamu tidak akan berada di sini.”
“Emangnya harus gen semua yang jadi penyebab. Gen yang dimiliki siliata semuanya tidak mampu mempengaruhi hidupnya. Hidupnya dikendalikan lingkungan seluruhnya.”
“Itu hanya satu kasus kecil. Siliata hanyalah protozoa renik yang bahkan matanya berupa titik kecil. Wajar saja hidupnya semua terkendali oleh lingkungan.”
Mendadak seorang kakek berteriak dari sel seberang. “Ngomongin apa kalian? Tanggung jawab. Puih. Aku disini dihukum seumur hidup atas kejahatan yang tak kulakukan. Bukan aku sang pembunuh, tapi aku yang dituduh, hanya karena sang pembunuh punya lebih banyak uang dibanding aku!”
Kami terdiam dan menatap malangnya sang kakek. Dan sang kakek kembali berceloteh.
“Kalian itu mencari kambing hitam. Sudah jelas kalian yang berbuat jahat, tapi menyalahkan pada gen kalian. Kau yang remaja, kau menyalahkan leluhurmu yang masa remajanya diolah oleh impuls-impuls seksual. Kau yang remaja, menyalahkan bapak ibumu yang pola asuhnya otoriter, berandai-andai kalau kau diasuh dengan otoritatif. Kau yang remaja, menyalahkan gen di inti selmu atas keberanianmu berhadapan dengan kematian yang ranting-rantingnya menjalari jemarimu yang mengepal. Hei sadarlah, bukan gen, bukan lingkungan, tapi dirimu sendiri yang bertanggung jawab.”
Masih ia meneruskan:
“Dan kau orang sok pintar. Kau menyalahkan lingkunganmu yang mempersempit ruang gerakmu hanya karena kau tak bisa menendang dinding. Kau yang sok pintar, menyalahkan masa dimana kau dilahirkan sebagai lumba-lumba, berharap dirimu seperti ikan yang tak perlu menghirup napas ke permukaan laut. Kau yang sok pintar, menyalahkan hujan deras yang membuatmu terpeleset padahal kau tak cukup pintar untuk memakai sepatu yang kuat. Berhentilah menyalahkan manusia. Nikmati hidupmu sekarang, bukan masa lalu dan bukan masa depan. Karena masa kini adalah yang nyata. Seperti kata mistikus Belanda, Jan Van den Oever, dua puluh tahun aku mencari jawaban atas pertanyaanku, dan sekarang aku sadar, pertanyaannya telah hilang.”
Betul juga kata si kakek. Ia terlihat senang dengan cintanya pada besi teralis kamarnya. Ia bermain dengan kertas-kertas sobek berisi ilmu yang seharusnya dibaca para kutu buku. Ia begitu bahagia, walaupun dunia tak adil padanya, walaupun dunia menyiram air keras dari pancuran kehidupan.
Aku bergeser kesamping dan terdiam. Aku beri waktu untuk kami bertiga berpikir. Benakku berbayang, siapa yang salah? Aku melihat masa depanku di depan jeruji, sang kakek itulah masa depanku, seandainya aku harus berpuluh tahun disini. Lalu haruskah kuhabiskan waktuku untuk mencari kambing hitam. Bahkan bila kambing hitam itu ketemu, bisakah ia menggantikanku tinggal di penjara ini?
Tapi…….
Gen itu buta. Ia tak bisa melihat cakrawala. Ia tak punya tujuan untuk melangkah. Hanya kompetisi diantaranya yang membuat ia berkembang. Ia adalah budak evolusi. Tak punya kehendak, hanya bertahan hidup untuk masa yang singkat.
Pintu ruang tahanan berderit. Seorang sipir datang. “Waktunya tidur!” katanya ringkas. Lalu ia mematikan saklar lampu. Ctek. Seluruh ruangan gelap gulita. Hanya big Bang mampu mengalahkan kegelapan ini. Dan dalam kegelapan ini, aku menemukan jawabanku.
Esok paginya, aku tersenyum di antara para lelaki masam. Aku seperti seorang raksasa yang bahkan mengalahkan para sipir penjara. Aku sadar sekarang, akulah yang membentuk takdirku. Para gen hanyalah saklar lampu. Aku sadar, mereka tak sadar. Akulah tuan mereka, walaupun mereka bermain di bawah sadarku.
Tags:
Pengetahuan
Leave a comment